Kreativitas Thomas Sigar dalam mengangkat kain tradisional Indonesia memang tak pernah surut. Throughout his career, he has presented his works such as tenun Aceh Gayo, tenun Songket (weaving typical of Southeast Sulawesi), tenun Tapanuli (ulos-Batak), tenun Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur, even weaving artisans of Cirebon and the various batik from Java.
Di antara beragam kain tradisional tersebut, kain Minahasa termasuk yang menarik perhatiannya. Sekitar bulan Juli 2007, diadakan Upacara Adat Watu Pinawetangan. Di situ Thomas mencermati guratan simbol-simbol penuh makna di permukaan Watu Pinawetangan, yang dibuat oleh nenek moyang Minahasa sekitar 3000 tahun silam.
Da strokes was impressed very unique and interesting!
"Guratan itu tidak utuh lagi, sudah banyak yang dirusak oleh tangan-tangan jahil. Beruntung gambar guratan seutuhnya ternyata masih ada di catatan sejarah yang ditulis Hukum Tua Kanonang. Terinspirasi dengan guratan simbol-simbol di batu yang begitu unik dan penuh makna, muncul niat untuk menjadikannya sebagai motif kain,” ujar Thomas, menjelang show bertema “The Enchanting Culture of Minahasa”, di Ballroom XXI Djakarta Theater, Kamis (30/6/2011) lalu.
Show yang digelarnya kali ini ini mengikuti peragaan akbar pertama tentang kain Minahasa pada 2009. Tahun 2010, Thomas juga sempet menggelar show bertema "Colours of Indonesia" yang digelar oleh Yayasan Sulam Indonesia di Departemen Kebudayaan dan Pariwisata.
Peragaan yang menampilkan 25 potong busana tersebut terbagi dalam dua subtema, yakni The Touch of Gujarat dan The Power of Patola Minahasa...
Tiga belas busana dalam koleksi The Touch of Gujarat menampilkan teknik hand print yang ditampilkan di atas kain bahan sutera Thailand dan sutera chiffon. Untuk menggambarkan pengaruh kain India pada kain tenun Minahasa olahan baru ini, Thomas menggarap kain-kainnya menjadi busana bergaya India, yang dicampur dengan pengaruh animisme dengan dominasi warna coklat kayu, hijau pupus dedaunan, dan abu-abu batu-batuan. Rancangan busana prianya terinspirasi dari Kurta (kemeja tunik panjang India) dan jas tutup bergaya Nehru. Rancangan busana wanita diberi sentuhan jelabah dengan teknik draperi, serta unsur bebatuan yang menambah keindahan busana.
Motif yang digunakan adalah patola pinatikan dan patola minahasa. Patola Pinatikan adalah motif dari kain Pinatikan yang diberikan sentuhan modern menjadi motif sirip ular (patola). Sedangkan motif patola minahasa adalah motif-motif sakral dari kain patola yang dipadukan dengan motif tembega (perhiasan kuno dari Minahasa). Aksesori berukuran besar yang dikembangkan dari motif kuno sampai lambang-lambang tradisional hadir dalam bentuk anting panjang, tusuk konde besar, dan kalung bernuansa animisme.
Sedangkan 12 busana dalam The Power of Patola Minahasa menggunakan kain-kain tenun, di antaranya kaiwu patola, kaiwu pinawetengan, dan kaiwu pinatikan, dan kaiwu tembega.
Kaiwu patola adalah tenun yang terinspirasi dari motif kain patola (Gujarat/India) yang disakralkan di Minahasa era pra-Kristiani. Di Minahasa, ular sawah (phyton) dinamakan ular patola karena memiliki sirip kulit yang menyerupai kain patola India. Sedangkan kaiwu pinawetangan adalah motif dari watu pinawetengan yang muncul kembali pada desain motif yang digabungkan dengan motif yang terdapat di kain tenun Minahasa kuno. Motif “meander” (bentuk sungai yang menyerupai bentuk ular) tampil dalam komposisi motif pengembangan ini.
Lalu kain kaiwu pinatikan adalah kain tenun yang kembali menampilkan motif ular (patola) namun dengan motif “sualanga” (perhiasan asli Minahasa yang berupa bulan sabit). Terakhir, kaiwu tembega adalah motif tembega, yaitu perhiasan asli Minahasa yang diartikan sebagai simbol alat reproduksi wanita yang disakralkan. Motif ini tampil untuk pertama kali dalam bentuk kain dengan kepala (tumpal) yang berpasangan dengan selendang panjang.
0 komentar:
Post a Comment
why not leave a comment?